80 Tahun Merdeka, Dibawah Lord Sri Mulyani Pajak Daerah Naik Tak Terkendali

Jakarta, seputarriau.co – Peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia diwarnai keresahan masyarakat akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis di sejumlah daerah. Kenaikan pajak hingga ratusan bahkan ribuan persen ini memicu gelombang protes warga, baik melalui aksi unjuk rasa maupun media sosial, karena dinilai memberatkan kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih.
Sejak awal 2025, sejumlah pemerintah daerah memberlakukan kenaikan PBB dengan persentase yang berbeda-beda. Data lapangan menunjukkan lonjakan antara 200% hingga 1000% di berbagai wilayah. Dilansir dari Sindo Files Weekend (17/08) berikut Kenaikan Pajak di Berbagai Daerah:
- Kabupaten Pati, Jawa Tengah – Rencana kenaikan 250% dibatalkan setelah aksi protes masyarakat.
- Jombang, Jawa Timur – Kenaikan mencapai 333% hingga 800%, membuat beban warga meningkat dari Rp300 ribu menjadi Rp3,5 juta per tahun.
- Kabupaten Semarang, Jawa Tengah – Warga mengeluhkan kenaikan hingga 400%, meski pemkab membantah dan menyebut penyebabnya adalah perubahan fungsi objek pajak.
- Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan – Aksi unjuk rasa menolak kenaikan hingga 300% digelar di depan kantor DPRD.
- Cirebon, Jawa Barat – Beberapa wilayah mengalami lonjakan PBB hingga 1000%, memicu gerakan protes komunitas warga secara daring.
Dilansir dari Sindo Files Weekend (17/08), memberikan informasi Contoh nyata yang dialami Anis Purwan Ningsi (63 tahun), warga Desa Sengon, Jombang. Tagihan PBB miliknya melonjak drastis dari Rp300-400 ribu menjadi Rp3,5 juta, terdiri dari pajak tanah Rp1,2 juta dan bangunan Rp2,3 juta. Ia mengaku kenaikan itu tidak masuk akal dan berharap pemerintah mengoreksi kebijakan tersebut.
Sejumlah warga di beberapa daerah juga meluapkan protes dengan cara unik, salah satunya membayar pajak menggunakan uang koin sebagai simbol ketidakpuasan.
Menurut Prof. Johermansya, pakar otonomi daerah, kenaikan pajak terjadi karena kepala daerah baru yang dilantik Februari 2025 menghadapi pemangkasan dana transfer pusat, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), lebih dari Rp50 triliun secara nasional. Kondisi ini mendorong mereka mencari sumber pendapatan asli daerah (PAD) instan melalui PBB.
Sementara itu, Ahmad Nur Hidayat, pengamat ekonomi, menilai kebijakan tersebut membebani masyarakat dan berpotensi menurunkan daya beli. Ia menegaskan banyak daerah kurang kreatif mencari PAD alternatif selain pajak, sehingga memilih menaikkan PBB secara drastis tanpa mempertimbangkan dampak sosial.
Ahmad Nur Hidayat memaparkan Kenaikan pajak yang masif dapat berpotensi:
- Menurunkan daya beli masyarakat.
- Memicu keresahan sosial dan aksi protes.
- Membebani kelompok rentan, seperti warga lanjut usia dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Para ahli menilai perlu evaluasi kebijakan fiskal daerah dan pembinaan yang lebih ketat dari pemerintah pusat. Solusi yang ditawarkan meliputi:
- Penguatan kemandirian fiskal daerah tanpa membebani rakyat.
- Pencarian sumber PAD alternatif yang kreatif dan berkelanjutan.
- Dialog partisipatif antara pemerintah daerah dan masyarakat sebelum menetapkan kebijakan pajak.
Kenaikan PBB yang tidak terkendali pada tahun 2025 menjadi cermin rapuhnya kemandirian fiskal daerah. Gelombang protes warga menunjukkan kebijakan yang terburu-buru tanpa kajian sosial yang matang. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan segera mengevaluasi kebijakan ini agar semangat kemerdekaan ke-80 tahun benar-benar menjadi momentum kesejahteraan, bukan penderitaan rakyat.
Tulis Komentar